Matinya Sekulerisme Dan Kebebasan Beragama
Matinya Sekulerisme dan Kebebasan Beragama
Di
Jawa, masjid-masjid tumbuh subur bak jamur di musim penghujan. Ramalan
teoritikus sekuler soal berkurangnya peran institusi keagamaan seakan hancur
lebur tidak berbekas. Senjakala agama tidak kunjung datang, malahan paham
sekulerisme secara formal dihabisisi lewat Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
No.7/Kongres Nasional VII/MUI/11/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan
Sekularisme Agama.
Ungkapan
ini tentu bukannya tanpa dasar. Tidak hanya agama, di Indonesia setelah
kejatuhan pemerintahan Soeharto, ortodoksi keagamaan menguat. Dampaknya tentu
saja pemingggiran ‘suara-suara lain’, meminjam istilah yang dipakai Hairus
Salim dalam pengantar edisi terjemahan bahasa Indonesia buku Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus
Kebatinan (2004).
Pengingkaran
akan keberadaan hak yang liyan nyata-nyata berdampak besar. Hilangnya diskursus
akademik terkait kekompok-kelompok yang dulu sering diolok sebagai abangan dalam peta kajian Islam di Jawa,
banyak disebut oleh para ahli diakibatkan adanya pengerasan di tubuh kekuatan
Islam ortodoks yang pada akhirnya menghilangkan ragam pandangan keagamaan yang
‘liyan’ dan dianggap menyimpang.
Kematian sekulerisme sebelum sempat berkembang, dibarengi
kebangkitan bermacam-macam institusi agama dalam bernegara menyisakan lobang
menganga, utamanya dalam keberagaman ekspresi keagamaan yang ada. Dominasi
unsur kuat terhadap yang lemah pasti tidak mungkin terelakkan.
Kematian Sekulerisme
Para
ahli sosiologi agama sejak periode awal, seperti Karl H. Marx, Emile Durkheim, Georg
Simmel, R.H. Tawney, Max Weber hingga Peter L. Berger memperdebatkan
signifikansi agama dalam kehidupan sosial masyarakat modern. Bryan Wilson
(1985) kemudian merangkum perdebatan para ahli, kemudian menciptakan sebuah
teori yang disebut ‘model sekularisasi’.
Pandangannya
menganggap bahwa komodifikasi membuat agama sebagai sekedar barang dagangan,
membawanya ke dalam transaksi pasar bebas. Wilson mengasumsikan akan menipisnya
peranan agama dalam mempengaruhi tindakan sosial sekaligus kesadaran masyarakat
serta individu-individu akibat sekulerisasi atau nilai-nilai yang sekarang kita
sebut sebagai modernisasi, rasionalisasi, pembangunan, kemajuan dan lain
sebagainya.
Pada
pengantarnya dalam buku The Sacred In
Secular Age: Toward Revision in the
Scientific Study of Religion (1985), Philip E. Hammond juga mengamini model
tersebut, ‘…society moves from some
sacred condition to successively secular conditions in which the sacred
evermore recedes.’ Di Eropa, surutnya ‘Yang Sakral’ dibuktikan dengan
fenomena seperti; berkurangnya kepercayaan publik terhadap Tuhan, penurunan
kepercayaan pada yang gaib, berkurangnya jumlah anggota dan kehadiran jemaat
gereja.
Tapi
fenomena lain terjadi, selain Eropa Barat dan Utara, baik Amerika, Asia dan sebagian besar dunia sisanya
semakin hari semakin religius. Setiap sudut kehidupan sosial tidak bisa lepas
dari pengaruh institusi dan simbol agama.
Pandangan seperti ini menjadi semacam paradoks bagi dunia modern
(Kitiars, 2008: 3-4) .
Semakin
masyarakat termordenisasi, terdidik dan teknologinya semakin berkembang, hal
ini malah membuat mereka semakin berkomitmen terhadap kepercayaannya. Berger
menjelaskan panjang lebar hal ini dalam Desecularization
The World (1999), dimana ia menekankan pada kesalahan teori sakulerisasi
ditengah-tengah kebangkitan agama secara global. Bahkan, dalam Jesus in Disneyland: Religion in Postmodern
Times (2000) D. Lyon menyatakan bahwa, “sekularisasi
sebagai metanarasi telah mati’’.
Bila
kita menarik diskusi ke tanah Jawa, fenomena sekulerisasi memperoleh tantangan
amat serius dari institusi-institusi agama yang dominan. Melacak ke masa
lampau, ketika gerakan kebatinan dianggap sebagai sebuah gerakan humanis.
Gerakan sosial yang tidak didasari oleh suatu pemahaman ortodoksi agama
tertentu, namun didorong oleh semangat kemanusiaan yang lebih universal
ternyata berumur pendek.
Gerakan
ini nampaknya mati sebelum bertumbuh. Sekalipun hari ini masih bisa kita lihat
sisa-sisanya, namun jelas sekali secara politik mereka nampaknya sulit
berkembang dan dikubur hidup-hidup oleh kekuatan ortoksi keagamaan.
Negara dan Agama (Islam)
Guna
memahami peranan agama dalam melahirkan ragam kebijakan di Indonesia, ada
baiknya kita menelusuri relasi Negara dan agama. Indonesia merupakan Negara
modern yang bila kita melacak akar kelahirannya berasal dari pemikiral liberal
dan merupakan anak kandung sekulerisme. Otoritas kekuasaan Negara dan agama
dipisahkan. Karena, Negara seperti Indonesia tentu saja tidak hanya melayani
satu agama tertentu saja.
Namun
ada yang unik disini, Piagam Jakarta awalnya menyertakan kalimat yang seakan
mengindikasikan keberpihakannya pada satu agama tertentu, yaitu Islam. “
…dengan kewadjiban menjalankan sjari’at Islam bagi pemeloek-pemeloeknnya”.
Seperti itulah narasi yang tercatat, sebelum kemudian para pendiri bangsa
Indonesia merevisi dan menyepakati sebagai pembukaan dasar Undang-Undang Dasar
Negara.
Kejadian
ini menyisakan hutang sejarah kepada umat Islam dalam kerangka politik.
Berbagai kebijakan di setiap pemerintahan seakan-akan berupaya membayar hutang
abadi ini. Seperti misalnya, lahirnya kementerian Agama, pendirian Majelis
Ulama Indonesia (MUI), pasal penodaan agama. Ini menambah rumit hubungan negara
dengan Islam hingga sekarang
Lutfie Assyaukanie menyebut ada 3 model hubungan Negara dan Islam. Pertama, negara yang diatur dengan hukum Islam, misalnya Iran. Kedua, negara demokrasi-liberal, seperti Turki. Ketiga, negara demokrasi-religius. Assyaukani membedakan negara demokrasi religius dengan liberal yaitu negara tidak menerima aliran yang ‘menyimpang’ dari ortodoksi atau mayoritas (Assyaukani, 2009: 155-158).
Toleransi Setengah Hati
Semangat
persatuan dan nasionalisme di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pandangan
keagamaan. Hal ini bisa dilihat baik dalam tataran ide maupun dalam bentangan
sejarah kebangsaan. Pancasila sebagai konsensus kebangsaan meletakkan ketuhan
pada bagian pertama. Ini sering kali diartikan sebagai Negara mengakomodir
institusi agama menjalankan roda pemerintahan.
Jeremy
Menchik dalam Islam and Democracy in Indonesia:
Tolerance without Liberalism (2015) memperkenalkan istilah ‘nasionalisme
bertuhan’. Pandangan relasi Negara dan agama khas Indonesia. Berbeda dengan
nasionalisme religius dimana hanya ada satu agama yang mendominasi sebuah
Negara, sepeti Jewish di Israel atau Islam di Iran dan Pakistan.
Nasionalisme
bertuhan mengakomodir beragam kepercayaan , tentu dengan berbagai batasan.
Menurut Menchik, nasionalisme ini memiliki 3 unsur pokok. Pertama, kewajiban
menganut agama tertentu. Secara administratif, Indonesia mengakui 6 agama
resmi. Kedua, Negara memiliki wewenang untuk menentukan mana ibadah atau aliran
yang dianggap tidak menyimpang. Ketiga, penentuan tersebut dilakukan Negara
bersama dengan organisasi-organisasi mayoritas, seperti Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah dalam Islam.
Nasionalisme
bertuhan memiliki sisi gelapnya sendiri. Negara bersama institusi agama
mayoritas berwenang menentukan penyimpangan keberagaman. Hal ini berbahaya bagi
kebebasan beragama kelompok-kelompok agama di luar ortodoksi.
Melalui
UU Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU PPPA) maupun Pasal
156A KUHP yang terkait dengannya, negara membatasi kebebasan beragama warga
negara hanya bila memperoleh restu dari kelompok ortodoks agama. Bila tidak,
aparatus negara bisa merestriksi segala bentuk ekspresi keagamaan melalui pasal
‘penodaan agama’ tadi.
Ini juga menjelaskan berbagai jenis kekerasan
memimpa madzab atau sekte besar yang dianggap menyimpang dari ortodoksi,
seperti Jemaat Ahmadiyah dan Syiah, atau yang sempat terjadi pada agama Baha’i.
Selain itu, restriksi juga menyasar sekte atau gerakan keagamaan baru (GKB).
Kelompok ini bersifat lokal dan memiliki pemeluk yang tidak banyak, seperti
Gafatar atau Millah Abraham, Salamullah/Lia Eden, Aliran Padange Ati, Blitar
dan lainnya. Belum terhitung pula diskriminasi yang terjadi kepada para
penghayat kepercayaan sepanjang sejarah berdirinya bangsa ini (CRCS, 2017: 4-7)
.
Matinya sekulerisme serta bangkitnya gairah keagamaan di Indonesia menyisakan pekerjaan rumah bagi kita, terutama terkait dengan kebebasan beragama. Nasionalisme bertuhan, demikian Menchik menyebutnya, mengakibatkan intoleransi terhadap praktik keagamaan di luar ortodoksi dan ini tentu saja bertentangan dengan jaminan setiap warga negara bebas beragama sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 .
Komentar
Posting Komentar
Mohon berkomentar dengan baik ya